Deiksis Bahasa Jawa
DEIKSIS DALAM BAHASA JAWA:
SUATU KAJIAN PRAGMATIK
1. Pengantar
Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang itu di antaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik, dan sebagainya (Wijana, 1996: 1). Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji morfem dan kombinasi-kombinasinya. Sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggabungannya satuan-satuan lingual yang berupa kata yang membentuk satuan lingual yang lebih besar berupa frase, klausa, kalimat, dan wacana. Semantik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji makna satuan lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal. Makna leksikal adalah makna unit semantik yang paling kecil yang disebut leksem, sedangkan makna gramatikal adalah makna yang berbentuk dari penggabungan dari satuan-satuan kebahasaan. Berbeda dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik yang mempelajari struktur bahasa secara internal, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi (Parker, 1986: 11). Makna yang dikaji dalam semantik adalah makna yang bebas konteks (context independent), makna linguistik (linguistic meaning) atau makna semantik, sedangkan makna yang dikaji dalam pragmatik adalah makna yang terikat konteks (context dependent), maksud penutur (speaker meaning) atau (speaker sense) (Verhaar 1983: 131; Parker, 1986: 32; Wijana, 1996: 3).
Makna yang dikaji oleh semantik bersifat dua segi atau diadis (dyadic). Makna itu bisa dirumuskan dengan kalimat What does X mean? (Apa makna X itu?). Makna yang ditelaah oleh pragmatik bersifat tiga segi atau triadis (triadic). Makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat What did you mean by X? (Apakah yang kau maksud dengan berkata X itu?) (Leech, 1993: 8; bandingkan pula Wijana, 1996: 3).
Pragmatik sebagai cabang linguistik yang berdiri sendiri memiliki bidang kajian yang cukup kompleks, bahkan dimungkinkan sering tumpang tindih antara kajian pragmatik dengan kajian cabang linguistik yang lainnya. Misalnya, kajian tentang pengacuan yang dipelajari dalam wacana, sampai saatnya akan dipelajari pula dalam deiksis yang termasuk kajian dalam pragmatik atau sebaliknya. Memang cukup sulit untuk membatasi secara tegas antara bidang yang satu dengan bidang yang lainnya.
Menurut Kaswanti Purwo (1987: 7), bidang kajian yang dipelajari dalam pragmatik ada empat yaitu : (1) deiksis, (2) praanggapan (presupposition), (3) tindak ujaran (speech acts), dan (4) implikatur percakapan (conversational implicature). Sedangkan menurut Levinson (1987: 27), bidang kajian pragmatik mencakup tentang deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana. Dengan demikian, Levinson memasukkan satu hal yang lain yaitu aspek-aspek wacana dalam kajian pragmatik, sedangkan Kaswanti Purwo tidak menyebutkan aspek wacana tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini hanya akan mengangkat satu pembahasan yang cukup menarik sebagai suatu kajian kebahasaan yang termasuk dalam kajian pragmatik yaitu deiksis, khususnya deiksis dalam bahasa Jawa.
2. Deiksis dalam Bahasa Jawa
Kata deiksis (deixis) berasal dari kata Yunani deiktikos, yang berarti ‘hal penunjukan secara langsung’. Dalam logika istilah Inggris deictic dipergunakan sebagai istilah untuk pembuktian langsung (pada masa setelah Aristoteles) sebagai lawan dari istilah elenctic, yang merupakan istilah pembuktian tidak langsung (The Compact Edition of the Oxford English Dictionary dalam Kaswanti Purwo, 1984: 2). Dalam linguistik sekarang kata itu dipakai untuk menggambarkan fungsi kata ganti persona, kata ganti demonstratif, dan leksikal lainnya yang menghubungkan ujaran dengan jalinan ruang dan waktu tindak ujaran (Lyons, 1977: 636). Sebelumnya, istilah deiktikos dipergunakan oleh tatabahasawan Yunani dalam pengertian yang sekarang disebut kata ganti demonstratif.
Deiksis adalah bentuk bahasa yang referennya berpindah-pindah tergantung pada siapa yang menjadi pembicara, atau penulis, dan tergantung pada waktu dan tempat bentuk itu dituturkan (Kaswanti Purwo, 1984: 1). Bentuk bahasa itu dapat berupa kata atau frasa (Jack Richards et al., 1989: 75). Sebuah kata dikatakan bersifat deiktis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata atau frasa itu. Kata seperti bapak ‘ayah’ dan saiki ‘sekarang’ adalah kata-kata yang deiktis. Kata-kata seperti ini tidak memiliki referen yang tetap. Berbeda halnya dengan kata seperti buku ‘buku’, omah ‘rumah’, tas ‘tas’. Siapa pun mengucapkan kata buku ‘buku’, omah ‘rumah’, tas ‘tas’, di tempat mana pun, pada waktu kapan pun referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata bapak ‘ayah’ dan saiki ‘sekarang’ baru dapat diketahui jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan kalimat berikut.
(1) A : Bapak wonten? ‘Ayah ada?’
B : Mboten wonten? ‘Tidak ada?’
Kata bapak bisa mengacu pada ayah A atau bisa juga pada ayah B. Kalau kata bapak mengacu pada ayah A berarti A benar-benar menanyakan keberadaan ‘ayah’-nya mungkin sedang berada di tempat B. Sedangkan kalau bapak mengacu pada ayah B berarti A memerlukan informasi tentang keberadaan ayah B.
Kata saiki juga bersifat deiktis dapat diperhatikan tuturan (2) berikut.
(2) Saiki bayar, sesuk gratis. ‘Sekarang bayar, besok gratis.’
Kata saiki ternyata acuannya berpindah-pindah, karena saiki dalam (2) akan berbeda apabila tuturan itu dituturkan satu hari berikutnya tetap akan berbunyi Saiki bayar, sesuk gratis, satu hari berikutnya lagi tetap akan berbunyi seperti itu, tergantung waktu ujaran (moment of speaking). Di samping itu, terdapat pula kata sesuk yang juga bersifat deiktis sehingga menarik sekali dalam penggunaannya bersama dengan kata saiki. Tuturan ini kadang-kadang kita jumpai di warung-warung atau rumah makan dengan maksud untuk memikat konsumen agar selalu mengunjungi warung atau rumah makannya. Berdasarkan tuturan itu mungkin tidak pernah ada konsumen yang menikmati fasilitas gratis. Nampaknya juga tidak mungkin apabila tuturan (2) itu diubah menjadi seperti (2a).
(2a) *Sesuk bayar, saiki gratis. ‘Besok bayar, sekarang gratis.’
Masing-masing tuturan (1) dan (2) referennya ada di luar tuturan, sehingga untuk mengetahui maksud tuturan itu harus dijelaskan faktor luar bahasa, seperti siapa, di tempat mana, dan pada waktu kapan tuturan itu berlangsung atau dituturkan.
Berdasarkan referennya, deiksis dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) deiksis endofora (referennya ada di dalam tuturan) dan (2) deiksis eksofora (referennya ada di luar tuturan). Masing-masing dapat diperhatikan uraian 2.1 dan 2.2 berikut.
2.1 Deiksis Endofora
Deiksis endofora adalah deiksis yang referennya ada dalam tuturan. Deiksis endofora ada dua macam, yaitu deiksis endofora yang anaforis (pengacuan pada hal-hal yang telah disebutkan di muka) dan deiksis endofora yang kataforis (pengacuan pada hal-hal yang disebutkan kemudian). Deiksis endofora dapat berupa pengacuan persona dan demonstratif (berupa aspek lokatif maupun temporal). Pengacuan persona atau orang meliputi kata persona pertama: aku ‘saya’, kula (krama) ‘saya’, kawula (krama) ‘saya’, dalem (krama) ‘saya’, dan ingsun (krama) ‘saya’. Kata ganti persona lekat kiri misalnya: dak-/tak- ‘saya lakukan’, ku– ‘ku’. Kata ganti persona lekat kanan misalnya: –ku ‘-ku’. Kata ganti orang kedua misalnya: kowe ‘kamu’, sampeyan (krama) ‘kamu’, panjenengan (krama) ‘kamu’, ndika ‘anda’. Kata ganti orang kedua lekat kiri misalnya kok-/ko- ‘kau’. Adapun kata ganti orang kedua lekat kanan misalnya –mu ‘-mu’. Kata ganti orang ketiga misalnya dheweke ‘dia, ia’, panjenenganipun ‘dia’. Kata ganti orang ketiga lekat kiri misalnya di– ‘di-‘, dipun– ‘di-‘. Sedangkan kata ganti orang ketiga lekat kanan misalnya -e ‘-nya’, -ne ‘-nya’, -ipun (krama) ‘-nya’, dan -nipun (krama) ‘-nya’. Pengacuan demonstratif lokatif misalnya kene ‘sini’, kono ‘situ’, kana ‘sana’, ngarep ‘depan’, mburi ‘belakang’; sedangkan pengacuan demonstratif temporal misalnya saiki ‘sekarang’, wingi ‘kemarin’, dan sesuk ‘besok’.
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan tuturan (3) dan (4) berikut.
(3) Minggu kepungkur Dipta rekreasi menyang Yogya, ora kanyana dheweke ketemu kanca lawas. ‘Minggu yang lalu Dipta rekreasi ke Yogya, tidak terkira dia bertemu dengan teman lama.’
(4) Kanthi swarane kang sora, guru kuwi nerangake soal matematika. ‘Dengan suaranya yang keras, guru itu menjelaskan soal matematika.’
Kata Dipta dan dheweke dalam (3) memiliki referen yang sama, dan dheweke mengacu ke arah depan yaitu kata Dipta. Sedangkan bentuk persona terikat -ne mengacu ke arah belakang yaitu pada kata guru.
Deiksis endoforis merupakan pengacuan yang ada dalam tuturan nampaknya bukan merupakan fokus dalam kajian pragmatik, karena kajian pragmatik lebih menekankan referen di luar tuturan. Pengacuan di luar tuturan itu termasuk dalam cakupan deiksis eksofora.
2.2 Deiksis Eksofora
Deiksis eksofora adalah deiksis yang referennya ada di luar tuturan. Untuk mengetahui pengacuan di luar tuturan itu maka harus mengetahui faktor luar bahasa, seperti siapa, di tempat mana, dan pada waktu kapan tuturan itu berlangsung.
Deiksis eksofora dapat berupa deiksis persona dan demonstratif (berupa aspek lokatif maupun temporal). Misalnya, bentuk sapaan ibu ‘ibu’ bersifat deiktis, karena bisa berpindah-pindah referensinya. Kata ibu dapat ditafsirkan sebagai persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga. Misalnya dalam tuturan (5), (6), dan (7) berikut.
(5) Ibu arep nyang pasar, ya. ‘Ibu akan pergi ke pasar, ya.’
(6) Ibu arep tindak ngendi? ‘Ibu akan pergi ke mana.’
(7) Ibu lagi tindak pasar. ‘Ibu sedang pergi ke pasar.’
Secara eksternal, bila dilihat dari penggunaan kata ibu dalam (5) sebagai persona pertama, karena tuturan seorang ibu itu mungkin disampaikan kepada anak-anaknya atau kepada suaminya, dalam (6) sebagai persona kedua, karena tuturan itu muncul dari anak-anaknya atau mungkin juga dari suaminya, sedang (7) sebagai persona ketiga, karena tuturan itu muncul dari ana-anak atau suaminya yang masing-masing memberikan informasi tentang kegiatan atau keberadaan ibu.
Deiksis lokatif berpusat pada penutur. Misalnya kata dan frasa kene ‘sini’, ing kono ‘di situ’, dan neng kana ‘di sana’ adalah deiktis karena untuk mengetahui makna frasa-frasa itu harus mengetahui siapa, kapan, dan di mana tuturan itu dihasilkan. Masing-masing frase itu dapat diperhatikan penggunaannya dalam tuturan (8), (9), dan (10) berikut.
(8) Aku wis tau urip neng Sala kene. ‘Saya sudah pernah hidup (tinggal) di Sala sini.’
(9) Ing kono aku rumangsa seneng. ‘Di situ saya merasa senang.’
(10) Bareng pindah neng kana, aku kudu tambah semangat. ‘Setelah pindah di sana, saya harus semakin semangat.’
Ditinjau dari pusat deiksis dengan penuturnya, maka kata kene dalam (8) ‘dekat dengan penutur’, frasa ing kono ‘agak dekat dengan penutur’, dan neng kana ‘jauh dengan penutur’.
Hal lain yang menarik pada kata kene ‘sini’, kono ‘situ’, dan kana ‘sana’ bukan hanya merupakan deiksis lokatif, tetapi juga merupakan deiksis persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga seperti nampak dalam tuturan (11) berikut.
(11) Kene kerja mempeng ora oleh apa-apa, kono semono uga, dene kana ora ngapa-ngapa mbokmenawa malah nemu beja. ‘Saya bekerja giat tidak memperoleh apa-apa, kamu begitu juga, sedangkan dia tidak berbuat apa-apa mungkin malahan mendapat untung.’
Kata kene, kono, dan kana dalam (11) tidak hanya berarti ‘sini, situ, dan sana’ tetapi juga berarti ‘saya’ (persona pertama), ‘kamu’ (persona kedua), dan ‘dia’ (persona ketiga).
Dalam kasus pembalikan deiksis (deictic reversal) kata kene ‘di sini’ dan frasa ing mriki ‘di sini’ dapat ditemukan dalam pembicaraan pada situasi pembicaraan dengan telepon dan dalam situasi menulis surat.
(12) Halo, piye mas kene udan apa ora? ‘Halo, bagaimana mas sini hujan tidak.’
(13) Kawontenan kula ing Sala tansah bagas waras, kadospundi kawontenan brayat ing mriki?. ‘Keadaan saya di Sala sehat walafiat, bagaimana keadaan keluarga di sini.’
Kata kene dan ing mriki secara konvensional memiliki makna ‘dekat dengan penuturnya’, tetapi dengan pembalikan deiksis itu, kata kene dan ing mriki memiliki makna ‘jauh dengan penuturnya’. Kasus serupa juga dijumpai pada persona pertama terikat lekat kanan -ku ‘-ku’ sebagai sarana untuk menunjuk persona kedua dan persona ketiga terikat lekat kanan –ipun ‘-nya’ sebagai sarana untuk menunjuk persona kedua.
(14) Wah, klambiku anyar. Pantes lakune beda. ‘Wah, bajuku baru. Pantas jalannya lain.’
(15) Naminipun sinten? Dalemipun pundi? ‘Namanya siapa? Rumahnya di mana?’
Bentuk ngarep ‘depan’ dan mburi ‘belakang’ juga bersifat deiktis, misalnya dalam tuturan (16) berikut.
(16) Ana asu neng ngarep wit. ‘Ada anjing di depan pohon.’
Bagian pohon kelapa yang dilihat oleh penutur sewaktu mengucapkan kalimat itu (16) itulah yang dimaksud dengan kata ngarep.
Kata ngarep dan mburi tidak deiktis apabila dirangkaikan dengan nomina seperti manusia, rumah (karena mempunyai bagian depan dan belakang).
Deiksis temporal tergantung pada waktu ujaran (moment of speaking). Misalnya kata saiki dan sesuk dalam (2) di atas adalah deiktis. Kata yang lainnya yang sejenis dengan kata saiki dan sesuk adalah wingi ‘kemarin’, misalnya dalam tutran (17) berikut.
(17) Aku wingi nggoleki kowe.’Saya kemarin mencari kamu.’
Berdasarkan waktu ujaran, kata wingi dalam (17) ‘satu hari sebelum tuturan berlangsung atau dituturkan’, sehingga kalau tuturan itu misalnya dituturkan satu hari kemudian, maka kata wingi akan mengalami perpindahan referen.
3. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1) Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Makna yang dikaji dalam pragmatik adalah makna yang terikat konteks (context dependent), maksud penutur (speaker meaning) atau (speaker