Cangkriman Jawa

Orang Jawa sangat akrab dengan kata cangkriman. Bahkan, dalam rangka menghibur dan komunikasi tidak jarang menggunakan cangkriman. Apa dan bagaimana cangkriman? Kesempatan ini kami berusaha menginformasikannya.

CANGKRIMAN DALAM BAHASA JAWA

(SUATU KAJIAN PRAGMATIK)

oleh Drs. Y. Suwanto, M.Hum.[1]

 

ABSTRACT

            The problems discussed in this research were: 1) how cangkriman (puzzles) in Javanese language took form, 2) how cangkriman in Javanese language functioned, and 3) what cangkriman  in Javanese language implied.

This research was aimed at 1) describing the forms of cangkriman in Javanese language, 2) describing the functions of cangkriman in Javanese language, and 3) describing the meaning of  cangkriman  in Javanese language.

            The data of this reasearch were taken from documents. They were collected by means of observation method and note-taking technique. The were then analyzed by using descriptive method, functional descriptive method, and classification technique of analysis leading to pragmatics analysis. Descriptive method was used to decide the forms of cangkriman. Metode functional descriptive method was used to analyze the function of cangkriman. Classification and technique and pragmatics analysis were used to decide the meaning of cangkriman. Hasil The results of analysis were presented by means of informal method.

            The results of this research can be concluded that 1) based on its forms, cangkriman in Javanese language can be classified into wancahan ‘acronym’, pepindhan ‘similarity, pengandaian’, blenderan ‘slippery words’, and tembang ‘song’; 2) there are 2 functions of cangkriman in Javanese language, namely as a game or entertainment and as a means of education; 3) in order to understand the unswer of cangkriman in Javanese language one should know the textual and contextual meanings of the utterences in cangkriman.

 

 

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Cangkriman (dalam bahasa Indonesia disebut pula cangkrim) merupakan peristiwa tutur atau tindak tutur yang terdapat di dalam masyarakat Jawa. Cangkriman merupakan kelompok kata, kalimat, wacana, dan tembang yang mempunyai makna tersamar. Oleh karena itu, cangkriman harus mencari jawabannya atau menebak apabila ingin mengetahui maksudnya. Penutur yang belum mengerti atau belum pernah mendengarkan cangkriman, maka akan  memberikan makna atau maksud yang salah. Padahal cangkriman masih hidup di kalangan masyarakat atau penutur bahasa Jawa.

Cangkriman merupakan tuturan Jawa yang sangat menarik untuk diperhatikan oleh siapapun. Cangkriman disebut pula bedhekan, yaitu merupakan kata-kata atau kalimat yang harus dijawab, maksudnya karena kata-kata atau kalimat tersebut memiliki makna yang di luar tuturan. Biasanya, cangkriman memang menggunakan kata-kata pertanyaan, misalnya pak boletus apa? ’pak boletus apa?’; apa batangane sega sakepel dirubung tinggi? ’apa jawaban nasi satu kepal dikitari kutu?; gajah midak endhog pecah apa ora? ’gajah menginjak telur pecah apa tidak?’ lawa telu kalong loro ana pira? ’kelelawar tiga kalong (jenis kelelawar) dua ada berapa?’ Namun demikian, apabila di dalam ber-cangkriman sudah ramai, kata apa ’apa’ tersebut kadang-kadang tidak digunakan lagi. Misalnya, lha, yen pitik walik saba kebon? ’kalau ayam walik yang ada di kebun?’; dan pak bomba, pak lawa, pak piyut? ’pak bomba, pak lawa, pak piyut?’

Penelitian cangkriman bahasa Jawa tampaknya belum pernah dilakukan secara khusus dan mendalam. Selama ini, pembahasan cangkriman bahasa Jawa baru disinggung secara sepintas dalam kaitannya dengan pembahasan tingkat tutur bahasa ngoko dan krama (Labberton, 1912), hanya dalam rangka mengumpulkan cangkriman yang berbentuk tembang (Ranneft, tanpa tahun), dalam rangka membahas bentuk, ragam, fungsi, dan perkembangan cangkriman (Maryono Dwiraharjo, 1981). Di samping itu, pembahasan cangkriman kebanyakan masih digabungkan dalam bidang kesusasteraan Jawa, misalnya dalam buku Tata-Sastra (Hadiwidjana, 1967: 97-98), Kawruh Kasusastran Jawa (Subalidinata, 1994: 13-14), dan Sapala Basa Jawa (Hidayat, 1991: 67-68).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cangkriman sebagai peristiwa tutur tampak belum pernah diteliti secara komprehensif dari segi linguistik (khususnya pragmatik) tetapi baru dibahas secara sepintas dalam pembahasan tentang kesusasteraan Jawa, dan belum dilakukan pembahasan atau penelitian secara deskriptif dan mendalam. Oleh karena itu, cangkriman bahasa Jawa perlu dikaji secara menyeluruh (khususnya secara pragmatik) sehingga akan diperoleh beberapa hal yang menarik dari hasil penelitian tersebut, baik berkaitan dengan bentuk atau struktur, fungsi, maupun maksud cangkriman.

 

1.2 Masalah

            Masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

(1)      Bagaimanakah bentuk cangkriman dalam bahasa Jawa?

(2)      Apakah fungsi cangkriman bahasa Jawa?

(3)      Apakah maksud cangkriman bahasa Jawa?

1.3 Tinjauan Pustaka

            Konsep-konsep teoretis yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut.

1.3.1 Pengertian Cangkriman

            Cangkriman (dalam bahasa Indonesia disebut pula cangkrim) yang berarti teka-teki atau tebakan. (Anton M. Moeliono, 1990: 150). Teka-teki adalah soal dan sebagainya yang berupa kalimat yang dikemukakan secara samar-samar, biasanya untuk permainan atau untuk pengasah pikiran, misalnya: yang digantungkan di atas, yang menggantungkan di bawah (jawabannya adalah orang yang menaikkan layang-layang) (Anton M. Moeliono, 1990: 915). Cangkriman berarti badhekan ‘pertanyaan’ atau batangan ‘pertanyaan’ (Poerwadarminta, 1939: 625).

            Menurut Subalidinata (1994: 13), cangkriman merupakan kata-kata yang disusun secara teratur, makna atau isinya mengandung maksud untuk dijawab. Cangkriman juga disebut badhean atau bedhekan (bahkan pada wilayah tertentu juga disebut capean).

1.3.2 Struktur atau Bentuk Cangkriman

            Struktur adalah seperangkat kaidah yang menghubungkan ucapan dan makna (Langacker, 1972: 3). Struktur merupakan susunan bagian-bagian dalam dimensi linier (Verhaar, 1983: 107). Kata, kalimat, wacana merupakan salah satu struktur sintaksis yang terdiri dari konstituen-konstituen yang berada dalam dimensi linier ini. Karena penelitian ini berupa penelitian struktur kata, kalimat, wacana, tembang, maka teori struktur ini digunakan untuk mengkaji cangkriman.

            Cangkriman merupakan ungkapan atau kalimat yang harus dijawab. Cangkriman pada umumnya untuk permainan (gegojegan). Ada pula cangkriman yang disampaikan untuk sayembara pada pertunjukan wayang. Cangkriman berdasarkan strukturnya ada bermacam-macam, yaitu cangkriman wancahan ’akronim’, cangkriman pepindhan ’pengandaian’, dan cangkriman blenderan ’pelesedan’, dan cangkriman sekar ’tembang’. Ada pula yang berpendapat bahwa struktur atau bentuk cangkriman dapat berupa kata, kalimat biasa, ada pula yang berbentuk tembang. Pendapat lainnya tentang bentuk cangkriman, Dwiraharjo (1981: 5) menyebutkan bahwa cangkriman bahasa Jawa berbentuk akronim, kalimat, tembang, dan campuran. Misalnya, pipalanda (bentuk akronim): ping para lan suda ‘perkalian pembagian penjumlahan pengurangan’, Pitik walik saba kebon ‘Ayam berbulu keriting berkeliaran di kebun’ (berbentuk kalimat) dan jawabannya adalah ‘nanas’, dan yang berbentuk tembang pocung sebagai berikut.

Namung tutuk, lan netra kalih kadulu / yen pinet kang karya / sinuduk netrane kalih / yeku saratira bangkit ngemah-ngemah //

‘Hanya mulut, dan mata dua terlihat / bila dimanfaatkan kerjanya / matanya dua dimasuki / yaitu sebagai syarat untuk mengunyah (menghancurkan)’

Jawaban cangkriman berbentuk tembang pocung tersebut adalah ‘gunting’.

1.3.3 Pragmatik

            Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang itu di antaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik, dan sebagainya (Wijana, 1996: 1). Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Morfologi  adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji morfem dan kombinasi-kombinasinya. Sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggabungan satuan-satuan lingual yang berupa kata yang membentuk satuan lingual yang lebih besar berupa frase, klausa, kalimat, dan wacana. Semantik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji makna satuan lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal. Makna leksikal adalah makna unit semantik yang paling kecil yang disebut leksem, sedangkan makna gramatikal adalah makna yang terbentuk dari penggabungan satuan-satuan kebahasaan. Berbeda dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik yang mempelajari struktur bahasa secara internal, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi (Parker, 1986: 11). Makna yang dikaji dalam semantik adalah makna yang bebas konteks (context independent), makna linguistik (linguistic meaning) atau makna semantik, sedangkan makna yang dikaji dalam pragmatik adalah makna yang terikat konteks (context dependent), maksud penutur (speaker meaning) atau (speaker sense) (Verhaar 1983: 131; Parker, 1986: 32; Wijana, 1996: 3).

            Makna yang dikaji oleh semantik bersifat dua segi atau diadis (dyadic). Makna itu bisa dirumuskan dengan kalimat What does X mean? (Apa makna X itu?). Makna yang ditelaah oleh pragmatik bersifat tiga segi atau triadis (triadic). Makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat What did you mean by X? (Apakah yang kau maksud dengan berkata X itu?) (Leech, 1993: 8; bandingkan pula Wijana, 1996: 3).

Pragmatik sebagai cabang linguistik yang berdiri sendiri  memiliki bidang kajian yang cukup kompleks, bahkan dimungkinkan sering tumpang tindih antara kajian pragmatik dengan kajian cabang linguistik yang lainnya. Misalnya, kajian tentang tindak tutur atau tindak ujaran, sampai saatnya dipelajari pula dalam pragmatik yang termasuk kajian dalam pragmatik atau sebaliknya. Memang cukup sulit untuk membatasi secara tegas antara bidang yang satu dengan bidang yang lainnya.

Menurut Kaswanti Purwo (1987: 7), bidang kajian  yang dipelajari dalam pragmatik ada empat yaitu: (1) deiksis, (2) praanggapan (presupposition), (3) tindak ujaran (speech acts), dan (4) implikatur percakapan (conversational implicature). Sedangkan menurut Levinson (1987: 27), bidang kajian pragmatik mencakup tentang deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana. Dengan demikian, Levinson memasukkan satu hal yang lain yaitu aspek-aspek wacana dalam kajian pragmatik, sedangkan Kaswanti Purwo tidak menyebutkan aspek wacana.

Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini hanya akan mengangkat satu pembahasan yang cukup menarik sebagai suatu kajian kebahasaan yang termasuk dalam kajian pragmatik yaitu cangkriman, khususnya cangkriman dalam bahasa Jawa.

1.4 Tujuan Penelitian

            Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1.           mendeskripsikan bentuk cangkriman dalam bahasa Jawa, baik yang berbentuk kata, kalimat, wacana, maupun tembang.

2.           mendeskripsikan fungsi cangkriman bahasa Jawa, baik yang berfungsi sebagai permainan maupun pengasah pikiran.

3.           mendeskripsikan maksud cangkriman bahasa Jawa, baik yang ditunjukkan oleh ko-teks (tuturan) maupun konteks (hal-hal di luar teks).

1.5 Manfaat Penelitian

            Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang bersifat teoretis dan praktis.

1) Manfaat Teoretis

            Secara teoretis penelitian ini memberikan manfaat  terhadap kejelasan bentuk, fungsi, dan maksud cangkriman bahasa Jawa dan kejelasan pengetahuan cangkriman bidang linguistik bahasa Jawa. Di samping itu, rumusan konsep tentang cangkriman bahasa Jawa yang ditinjau secara pragmatik dapat dipilahkan secara memadai.

2) Manfaat Praktis        

            Secara praktis hasil penelitian ini memberikan manfaat akan adanya sumber informasi penelitian linguistik bahasa Jawa yang berikutnya, menunjang pengajaran bahasa Jawa, menunjang program pemerintah dalam usaha pemeliharaan, pembinaan, dan pengembangan bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa, dan memberikan sumbangan dalam pemecahan masalah, khususnya cangkriman.

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini meliputi empat hal, yaitu (1) lokasi penelitian, (2) penyediaan data, (3) metode analisis data, dan (4) metode penyajian hasil analisis (c.f. Sudaryanto, 1993: 7).

2.1 Lokasi Penelitian

Kegitan penelitian ini mengambil lokasi di Kota Surakarta dan sekitarnya. Lokasi ini sengaja dipilih karena daerah Surakarta dan sekitarnya masyarakatnya kebanyakan masih menggunakan bahasa Jawa (termasuk di dalamnya cangkriman).

2.2 Penyediaan Data

Sumber data penelitian ini adalah dari pustaka. Pengumpulan data menggunakan metode simak. Metode simak ini dilakukan dengan menyimak penggunaan cangkriman pada karya sastra dan buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik catat. Setelah data  terkumpul, kemudian diklasifikasikan berdasarkan bentuk, fungsi, dan maksud cangkriman.

2.3 Metode Analisis Data

Metode analisis data ini menyangkut analisis penentuan bentuk cangkriman, fungsi cangkriman, dan maksud cangkriman.

a)        Penentuan bentuk atau struktur cangkriman.

Penentuan bentuk cangkriman ini dengan metode deskriptif. Teknik dasarnya dengan teknik pilah, yaitu semua bentuk cangkriman yang diperoleh dari informan dan pustaka dipilahkan, dan teknik lanjutannya dengan teknik catat.

b)       Penentuan fungsi cangkriman sebagai sarana permainan dan pengasah pikiran (pendidikan).

      Penentuan fungsi ini dilakukan dengan deskriptif fungsional. Teknik dasarnya dengan teknik pilah dengan cara membandingkan dan mempersamakan. Teknik lanjutannya dengan teknik catat.

c)   Penentuan maksud cangkriman.

      Penentuan maksud ini dengan menggunakan analisis pragmatik. Teknik dasarnya adalah dengan teknik pilah yaitu dengan cara memilah maksud (jawaban) cangkriman berdasarkan ko-teks (berdasarkan tuturan semata) dan maksud (jawaban) cangkriman berdarkan konteks (hal-hal yang ada di luar teks). Untuk mengetahui maksud cangkriman ini menggunakan teori tindak tutur, Parker (1986), Mey (1994), dan  Wijana (1996). Teknik lanjutannya adalah tenik catat.

2.4 Metode Penyajian Hasil Analisis

Hasil analisis yang berupa kaidah-kaidah dapat disajikan melalui dua cara, yaitu (1) perumusan dengan kata-kata biasa dan (2) perumusan yang menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang. Yang pertama sering disebut metode informal dan yang kedua sering disebut metode formal. Penggunaan kata-kata atau lambang-lambang merupakan teknik dari penyajian hasil analisis tersebut (Sudaryanto, 1993: 145).

III. BENTUK, FUNGSI, DAN MAKSUD CANGKRIMAN

3.1 Bentuk Cangkriman

Pada bagian ini akan diuraikan bentuk-bentuk cangkriman yang dibagi menjadi 4 macam, yaitu yang berupa sekar atau tembang, akronim, perumpanaan, dan blenderan.

3.1.1 Cangkriman Tembang

Cangkriman yang berupa tembang ini bentuknya tembang macapat yang menceritakan sifat-sifat suatu barang yang harus dijawab. Biasanya satu bait tembang untuk satu cangkriman, sekalipun ada pula satu bait tembang untuk cangkriman lebih dari satu. Misalnya, dalam tembang Asmaradana berikut.

Wontên ta dhapur sawiji / tanpa sirah tanpa tênggak / mung gatraning wêtêng bae / miwah suku kalihira / nging tanpa dalamakan / kanthaning bokong kadulu / rumakêt ing para priya //

Ada satu wujud / tanpa kepala tanpa leher / hanya bentuk perut saja / dan kaki keduanya / tetapi tanpa telapak kaki / wujud pinggul kelihatan / melekat pada para laki-laki //

Jawabannya: celana.

3.1.2 Cangkriman Wancahan

Wancah berarti singkat atau singkatan. Wancahan tersebut harus dijawab yang disusun dari baris yang ada. Cangkriman wancahan ini wujudnya singkatan atau akronim kata-kata dari kalimat yang digunakan untuk cangkriman. Caranya dengan menyingkat kata menurut singkatan yang biasa terjadi dalam singkatan bahasa Jawa, yaitu dengan menghilangkan suku kata yang depan. Dengan demikian yang digunakan dua suku kata terakhir atau satu suku kata terakhir, misalnya bapak menjadi pak, kebo menjadi bo, tracake menjadi cake, bapak cilik menjadi pak lik, nama Suparyana apabila dipanggil cukup na saja, gedhe dhuwur menjadi dhewur, dan idu abang menjadi dubang. Untuk lebih jelasnya jenis cangkriman wancahan ini dapat diperhatikan contoh berikut.

1.       kabakêtan = nangka tiba nèng sukêtan ‘nangka jatuh di rerumputan’

2.       pakbolétus = tapakbo ana léné satus ‘jejak kaki kerbau ada ikan lele seratus’

3.       burnaskopên = bubur panas kokopên ‘bubur panas makanlah’

Perlu diketahui bahwa dalam bahasa Jawa, singkatan atau akronim kata kaidahnya sudah pasti, yaitu seperti yang telah diuraikan di atas. Dengan demikian tidak pernah akan dijumpai akronim dengan menghilangkan bagian (suku kata) yang belakang atau menurut selera yang membuat singkatan atau akronim. Hal ini sangat berbeda dengan bahasa Indonesia yang dijumpai pada koran atau tayangan televisi: dalam membuat singkatan sangat berbeda. Misalnya: ‘sembilan bahan pokok’ disingkat sembako, ‘Dewan Perwakilan Rakyat’ disingkat DPR, ‘Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan’ disingkat Menkopolkam. Pada acara televisi seperti: Intips singkatan dari informasi dan tips, Jelita singkatan dari jendela informasi wanita, Pesta singkatan dari pentas sejuta aksi, dan Kiss singkatan dari kisah seputar selebriti, yang jumlah dan bentuknya bermacam-macam.

Pada bagian lain, terdapat cangkriman akronim yang berbentuk kata seolah-olah bahasa asing tetapi setelah diperhatikan sebenarnya kata-kata bahasa Jawa. Misalnya:

4.       ling cik tu tu ling ling yu (seperti bahasa Mandarin) = maling mancik watu, watuné nggoling malingé mlayu ’pencuri menginjak batu, batunya terguling, pencurinya lari’.

5.       burnas kopên (seperti bahasa Belanda) = bubur panas kokopên ’bubur panas makanlah’.

3.1.3 Cangkriman Pepindhan (Irib-iriban Barang)

Cangkriman pêpindhan bentuknya hampir sama dengan cangkriman tembang. Keduanya menyebutkan keadaan atau sifat suatu barang, perbedaannya terletak pada jumlah kalimat yang digunakan. Cangkriman tembang menggunakan kalimat lebih dari satu dan berbentuk tembang dengan aturan tertentu, sedangkan cangkriman pepindhan bentuknya kalimat, kebanyakan hanya satu kalimat, meskipun ada juga yang menggunakan lebih dari satu kalimat.

1.       Pitik walik saba kêbon ’ayam berbulu keriting berkeliaran di kebun = nanas ’buah nenas’

2.       Wujudé kaya kêbo, ulêsé kaya kêbo, lakuné kaya kêbo, nanging dudu kêbo ’bentuknya seperti kerbau, warnanya seperti kerbau, jalannya seperti kerbau, akan tetapi bukan kerbau = gudèl ’anak kerbau’

3.       Bapak Demang klambi abang yèn disuduk manthuk-manthuk ’Bapak Demang berbaju merah kalau ditusuk mengangguk-angguk’ = tuntut (kembang gedhang) ’bunga pohon pisang’

3.1.4 Cangkriman Blenderan

Blenderan juga disebut plesetan. Bentuk cangkriman blenderan adalah kalimat yang sudah jelas maknanya, akan tetapi makna yang tertulis itu bukan makna yang sebenarnya (yang dimaksudkan). Cangkriman blenderan ada yang berbentuk tembang ada pula yang berbentuk kalimat biasa. Bentuk kata yang digunakan adalah kata-kata singkatan dan homonim.

1.       Wong adol témpé ditalèni ‘Orang jual tempe diikat’ = sing ditalèni témpé, dudu wong sing adol ‘yang diikat tempe, bukan orang yang berjualan’

2.       Wong mati ditunggoni wong mésam-mèsêm ’orang meninggal ditunggui orang tersenyum’ = sing mésam-mèsêm wong sing nunggu, dudu sing mati ’yang tersenyum orang yang menunggu, bukan orang yang telah meninggal dunia’

Contoh cangkriman blenderan yang berbentuk tembang:

  Pangkur

Badhénên cangkriman ingwang / tulung-tulung ana gêdhang awoh gori / ana pitik ndhasé têlu /  gandhènana êndhasnya / kyai dhalang yèn mati sapa sing mikul / ana buta nunggang grobag  / sêlawé sunguting gangsir //

’Tebaklah teka-teki saya / tolong-tolong ada pisang berbuah gori / ada ayam kepalanya tiga / dipukul pun kepalanya / kiai dalang jika mati siapa yang memikul / ada raksasa naik gerobak / dua puluh lima sungut gangsir //’

Batangane: gori = ditegori; telu = dibuntel wulu; gandhenana = gandhen ana; dhalang = kadhal lan walang; buta = tebu ditata; selawe (lawe) = bolah, benang.

’Jawabannya: gori = ditebangi; têlu = dibungkus bulu, dipukul gandhèn = gandhèn ada; dalang = kadal dan belalang; buta = tebu ditata; selawe ’dua puluh lima’ = lawé ’benang.’

Ada juga cangkriman yang mirip dengan ilmu kebatinan, contohnya adalah sebagai berikut.

Pêcating nyawa barêng blêdhosing bantala, lukar busana nyêmplung kawah candradimuka, supayané sampurna dikanthèni sa cacah têlu (= téla pohung)

Katrangané mangkéné: téla pohung kuwi manawa dijabut ora bisa ditandur lan urip (kêjaba uwité = kanthi cara stek), bubar dioncèki banjur digodhog, supaya bisa énak dibumboni sa têlu yaiku, sarêm, salam lan santên.

’Lepasnya nyawa bersamaan dengan meletusnya bumi, melepas pakaian masuk kawah candradimuka, agar mencapai kesempurnaan disertai sa berjumlah tiga.’ (= ketela pohon)

Keterangannya demikian: ketela pohon jika dicabut tidak bisa ditanam dan hidup lagi (kecuali batangnya dengan cara stek), setelah dikupas lalu direbus, agar enak diberi bumbu sa tiga macam yakni sarêm ’garam’, salam ’daun salam’, santên ’santan’.

3.1.5 Wangsalan

Wangsalan tidak termasuk dalam jenis cangkriman meskipun bentuknya mirip dengan cangkriman. Perbedaannya, wangsalan berbentuk kalimat yang mengandung kata-kata yang harus ditebak maksudnya. Bentuk jawaban itu tidak tampak nyata tetapi disamarkan pada suku kata pada baris berikutnya.

1.       Wilangan wolu lan loro, puluh-puluh wis kêbanjur, kêpriyé manèh? (wolu lan loro = sêpuluh) ’Bilangan delapan dan dua, memang sudah terlanjur, bagaimana lagi? (delapan dan dua = sepuluh)’

2.        Pring dhèmpèt sunduk saté, bésuk manèh yèn arêp kandhan wêrna-wêrna, bok kêtêmu ijèn baé, ta (pring dhèmpèt = andha, sunduk saté = sujèn) ’Bambu melekat tusuk sate, besuk lagi kalau mau bicara macam-macam, ketemu sendiri sajalah (bambu melekat = tangga, tusuk sate = sujèn).

Dalam penggunaan sehari-hari sering juga dijumpai wangsalan yang tidak menyebutkan jawabannya. Hal itu disebabkan oleh karena mitra tutur sudah dianggap mengetahui jawaban atas wangsalan yang dituturkan karena sudah sering didengar dalam pergaulan sehari-hari.

3.       Wé lha, njanur gunung têmên, ésuk-ésuk kok wis têkan kéné. ’Wah, benar-benar  njanur gunung, pagi-pagi sudah sampai di sini.’

4.       Jênang gula, lho Dhi! ’Bubur gula, lho Dik!’

Wangsalan juga terdapat dalam bentuk tembang. Contohnya adalah sebagai berikut.

5.       Dandhanggula

Carang wrêksa ingkang jamang tambir / nora gampang wong mêngku nagara / baligo amba godhongé / kudu santosèng kalbu / têngarèng prang andhêging riris / dèn têtêg trang dèn cipta / sêndhang nir ing ranu  / sasat ana palagan / kasang toya mênyan séta munggèng ardi / yèn apês kuwirangan.

Katrangan: carang wrêksa = pang; jamang tambir = wêngku; baligo amba godhongé = labu; têngarèng prang = têtêg; andhêging riris = têrang; nir ing ranu = asat; kasang toya = impês; mênyan séta munggèng ardi = wlirang.

’Cabang pohon yang belenggu tambir / tidak mudah orang memerintah negara / tanaman baligo lebar daunnya / harus kuat di hati / tanda perang hentinya hujan / tetaplah kehendaknya / danau tanpa air / laksana di medan perang / jaring air kemenyan putih di gunung / jika tak untung dipermalukan.’

 

3.2 Fungsi Cangkriman

 

3.2.1 Cangkriman sebagai Sarana Hiburan

Cangkriman atau teka-teki biasanya melibatkan dua orang atau lebih yang sedang terlibat dalam pembicaraan santai. Jika orang sedang dalam persoalan serius atau sedang membutuhkan pemikiran berat, tidak bisa diajak bercangkriman. Hal ini disebabkan oleh karena cangkriman sendiri membutuhkan pikiran untuk dapat menjawabnya. Dengan demikian terjadinya tanya-jawab cangkriman membutuhkan minimal tiga syarat, yakni 1) pelaku yang terdiri dari dua orang atau lebih; 2) ada waktu luang; dan 3) tidak ada pekerjaan lain yang membutuhkan perhatian dan pemikiran ekstra.

Cangkriman mengandung aspek permainan, yakni permainan kata atau tebak-tebakan. Seorang pembicara akan melontarkan pertanyaan dan mitra-bicara harus menebak dengan cara menjawab pertanyaan yang disampaikan. Suasana akan menjadi ramai dan menarik jika pesertanya banyak orang, tidak hanya dua orang. Orang yang dapat menebak dengan benar akan mendapatkan tepuk tangan dari orang-orang (peserta) yang lain.

Pertanyaan cangkriman biasanya disampaikan secara bergantian akan tetapi dapat juga didominasi oleh orang tertentu. Bila pertanyaannya disampaikan secara bergantian, maka penutur yang menuturkan pertanyaan, pada cangkriman berikutnya berganti menjadi orang yang harus menjawab. Terdapat kemungkinan cangkriman yang dilontarkan tidak mendapat jawaban yang benar dari mitra tutur, maka harus dijawab sendiri oleh penutur yang melontarkan cangkriman tersebut.

Sebagai bentuk permainan, cangkriman memiliki fungsi hiburan. Terutama hiburan pada waktu luang. Sambil bersantai, saat orang-orang berkumpul, seringkali disampaikan cangkriman di antara orang-orang tersebut. Cangkriman dapat juga disampaikan sambil mengerjakan pekerjaan ringan yang dikerjakan bersama-sama, misalnya pada saat sambatan ’kerja bakti’. Sambil mengerjakan sesuatu, mereka saling melontarkan cangkriman.

Biasanya cangkriman diawali oleh seseorang dengan melontarkan pertanyaan. Kemudian orang tersebut meminta orang lain untuk mencoba menjawab. Dalam kumpulan orang banyak, tidak hanya satu orang saja yang dapat mencoba menjawab suatu cangkriman. Semua orang yang hadir memiliki kesempatan yang sama untuk menjawab suatu cangkriman. Bahkan kadang-kadang semua orang yang hadir ditawari satu-persatu untuk mencoba menjawab. Bila orang-orang sudah mencoba menjawab tetapi jawabannya tidak ada yang sesuai dengan maksud pemberi pertanyaan, atau jawabannya salah, biasanya si pelontar pertanyaan menjawab sendiri cangkriman yang disampaikannya.

Kadang-kadang jawaban yang disampaikan oleh si pelontar cangkriman terasa sepele atau di luar perkiraan sehingga membuat orang-orang yang mendengar menjadi tertawa. Hal itu membuat suasana menjadi cair dan riang. Agaknya memang gelak tawa itulah yang menjadi tujuan disampaikannya cangkriman dalam suasana santai. Gelak tawa dan suasana riang itu kemudian membuat hubungan orang-orang tersebut menjadi lebih akrab.

Kadang-kadang dalam perkumpulan orang-orang yang sedang bersantai cangkriman didominasi oleh satu orang saja, maksudnya hanya satu orang tertentu saja yang mampu membuat pertanyaan dan sekaligus menjawabnya sendiri. Orang-orang lain tidak benar atau tidak bisa menjawab dengan benar cangkriman yang disampaikannya. Jika hal itu terjadi, maka bukan berarti orang tersebut ingin menonjolkan diri, akan tetapi semata-mata hanya untuk menghibur, membuat orang tertawa.

Oleh karena cangkriman dapat menimbulkan tawa dan bersifat menghibur maka banyak digunakan oleh para pelawak sebagai bahan lawakannya. Para pelawak itu kebanyakan menggunakan cangkriman yang berbentuk wancahan, cangkriman pepindhan, dan/atau cangkriman blenderan. Cangkriman bentuk itu memang lebih terasa lucu dibandingkan dengan cangkriman yang berbentuk tembang. Cangkriman berbentuk tembang lebih banyak disampaikan dalam suasana yang lebih formal.

3.2.2 Cangkriman sebagai Sarana Pendidikan

Cangkriman dapat dilakukan oleh anak-anak, remaja, maupun dewasa. Bahkan dalam cerita wayang cangkriman dilakukan sebagai sayembara. Dalam acara-acara tertentu bisa juga disediakan hadiah bagi orang yang dapat menjawab cangkriman dengan benar dan hukuman bagi yang tidak bisa menjawab atau jawabannya salah. Tentu saja sifat hukumannya hanya sebatas untuk meramaikan suasana.

Selain berfungsi sebagai hiburan, cangkriman juga berfungsi untuk mengasah otak atau sebagai alat pendidikan. Dengan banyak bermain cangkriman, secara langsung  atau pun tidak langsung, orang akan dilatih untuk berpikir secara cepat dan tepat. Dalam menjawab pertanyaan cangkriman orang memang dituntut untuk berpikir secara cepat. Orang yang tidak dapat berpikir secara cepat akan ketinggalan kesempatan.

Cangkriman juga melatih orang agar berwawasan luas dan mencari banyak kemungkinan. Secara tidak langsung cangkriman juga berfungsi untuk melatih kecerdasan. Orang yang cerdas akan mampu melontarkan pertanyaan yang sulit dijawab, sebaliknya ia selalu bisa menjawab cangkriman dari orang lain. Orang yang  demikian lalu dapat mendominasi permainan cangkriman. Meskipun  demikian orang akan tetap menyukainya, bahkan kadang-kadang orang yang  demikian ini malahan dirindukan oleh teman-temannya.

Selain itu cangkriman juga melatih kreativitas seseorang. Cangkriman memang memerlukan cara berpikir yang kreatif. Berpikir kreatif antara lain ditandai adanya kemampuan memandang hal-hal yang biasa dari sisi yang lain sehingga hal-hal yang tadinya biasa itu dapat diubah menjadi tidak biasa. Orang yang kreatif akan mampu menciptakan pertanyaan-pertanyaan baru. Unsur kebaruan sangat dibutuhkan dalam permainan cangkriman karena dengan adanya kebaruan akan membuat orang tidak merasa bosan. Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak kreatif, mereka hanya meniru atau mengulang cangkriman yang pernah didengarnya dari orang lain. Jadi, dengan adanya kreativitas cangkriman selalu berkembang.

3.3 Maksud Cangkriman

Cangkriman adalah permainan kata-kata. Tuturan cangkriman membutuhkan adanya dua pihak, yakni penutur dan mitra-tutur. Penutur menyampaikan pertanyaan dan mitra-tutur menjawab pertanyaan yang disampaikan. Seringkali terjadi mitra-tutur tidak dapat menjawab dengan benar pertanyaan yang disampaikan oleh penutur. Dalam hal yang demikian, maka penutur sendiri yang menjawab pertanyaannya.

Sebagai permainan kata-kata, secara umum cangkriman memiliki maksud adu kepandaian, yakni kepandaian dalam menyusun kata-kata pertanyaan dan kepandaian dalam menebak pertanyaan. Penutur yang memiliki kepandaian tinggi akan dapat menyusun pertanyaan yang sulit dijawab oleh mitra tutur, bahkan penutur yang pandai dan kreatif dapat mengelak, dengan mengubah jawabannya, jika jawaban yang dimaksudkan semula dapat dijawab oleh mitra tutur. Sebaliknya, mitra-tutur yang pandai akan dengan mudah menjawab pertanyaan cangkriman yang disampaikan.

Untuk dapat menjawab cangkriman dengan benar orang harus menguasai makna tekstual dan kontekstualnya. Makna tekstual berkaitan dengan bentuk cangkriman. Cangkriman yang berbentuk tembang tunduk pada kaidah-kaidah penyusunan tembang, oleh karena itu dalam memberi makna juga harus sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut. Kaidah tembang Jawa yang membatasi jumlah baris, jumlah suku kata tiap baris, dan bunyi vokal tiap baris kadang-kadang menyebabkan susunan kata yang berbeda dengan bentuk prosa. Oleh karena itu untuk mengetahui makna tembang mitra-tutur harus membuat penafsiran, misalnya melalui parafrasa. Contohnya cangkriman dalam bentuk tembang Kinanthi berikut.

Wontên putri luwih ayu / tan ana ingkang tumandhing / sariranira sang rêtna / owah-owah sabên ari / yèn rina kucêm kang cahya / mung ratri mancur nêlahi //

‘Ada putri amat cantik / tak ada yang menandingi / badan sang ayu / berubah-ubah setiap hari / jika siang suram cahyanya/ hanya di malam hari terang benderang //’

Cangkriman di atas sudah dapat ditangkap maknanya melalui terjemahan, akan tetapi akan lebih jelas lagi jika diparafrasakan sehingga bentuknya berubah menjadi prosa. Bentuk parafrasa tembang di atas dapat dirumuskan; ”Ada putri yang kecantikannya tak tertandingi. Badannya berubah setiap hari. Pada siang hari cahayanya suram tetapi di malam hari amat terang. Apakah itu?”

Cangkriman wancahan yang berbentuk akronim tunduk pada kaidah pembentukan akronim bahasa Jawa. Akronim bahasa Jawa dibentuk dengan menggabungkan suku kata ultima dan/atau penultima. Oleh karena itu penyusun cangkriman harus memenuhi kaidah ini.  Demikian  juga dalam menafsirkan cangkriman wancahan, orang harus bertumpu pada kaidah tersebut. Perhatikan contoh berikut.

1.       kabakêtan = nangka tiba nèng sukêtan ‘nangka jatuh di rerumputan’

2.       pakbolétus = tapakbo ana léné satus ‘jejak kaki kerbau ada ikan lelenya seratus’

Cangkriman pepindhan disusun berdasarkan kemiripan bentuk. Hal yang dimaksud atau hal yang dipertanyakan dicari persamaannya dengan benda lain kemudian benda lain itulah yang dikatakan. Dalam hal ini baik penyusun cangkriman maupun yang menjawab harus lebih cermat dalam mengamati gejala-gejala benda dan lingkungan di sekitarnya.

    Pitik walik saba kêbon ’ayam berbulu keriting berkeliaran di kebun = nanas ’buah nenas’

    Wujudé kaya kêbo, ulêsé kaya kêbo, lakuné kaya kêbo, nanging dudu kêbo ’bentuknya seperti kerbau, warnanya seperti kerbau, jalannya seperti kerbau, akan tetapi bukan kerbau = gudèl ’anak kerbau’

Cangkriman di atas memanfaatkan kemiripan bentuk antara hal yang ditanyakan dengan hal yang dimaksudkan. Persamaan/kemiripan antara pitik walik saba kêbon ’ayam berbulu keriting berkeliaran di kebun’ dan buah nenas adalah bentuk bulu ayam dan bentuk kulit buah nenas. Cangkriman berikutnya memanfaatkan kemiripan bentuk, warna kulit, dan cara jalan kerbau dengan anak kerbau.

Cangkriman blenderan disusun dengan menggunakan kata-kata yang bersifat homonim dan pemindahan pengacuan. Oleh karena itu, cangkriman blenderan kebanyakan disusun sebagai kalimat yang seolah-olah maknanya sudah jelas akan tetapi maksudnya berbeda. Hal itulah yang digunakan sebagai sarana untuk mengecoh mitra tutur. Dengan  demikian untuk menyusun maupun menjawab cangkriman bentuk blenderan ini orang harus memiliki penguasaan kosa kata yang luas dan kecermatan dalam menangkap makna kalimat. Contoh cangkriman blenderan yang menggunakan strategi homonim sebagai pengecoh adalah sebagai berikut.

    Lawa têlu kalong loro ana pira? ‘Kelelawar tiga kelelawar besar dua ada berapa? = (lawané têlu karo kalongé (lawa gêdhé) loro dadi ana lima ‘Kelelawar tiga dan kelelawar besar dua jadi jumlahnya lima’).

Cangkriman di atas menggunakan kata kalong ’kurang, kelelawar besar’ sebagai pengecoh. Di dalam bahasa Jawa kata kalong memiliki dua makna yakni ’kurang’ dan ’jenis kelelawar besar’. Dengan adanya kata bilangan yang lebih besar (têlu ’tiga’) disebut lebih dulu diikuti kata bilangan yang lebih kecil (loro ’dua’) orang cenderung memaknai kata kalong sebagai ’kurang’, padahal yang dimaksud penutur adalah makna yang lain, yaitu kelelawar besar.

  Wong adol témpé ditalèni ‘Orang jual tempe diikat’ = sing ditalèni témpé, dudu wong sing adol ‘yang diikat tempe, bukan orang yang berjualan’

Cangkriman di atas menggunakan strategi pemindahan pengacuan sebagai pengecoh. Kuncinya terletak pada kata ditalèni ’diikat’. Dalam kalimat di atas kata ditalèni ’diikat’ mengacu atau memberi keterangan pada Wong adol témpé akan tetapi yang dimaksud penyusun cangkriman ini yang  ditalèni adalah témpé.

Demikianlah adanya kebutuhan penguasaan koteks untuk mengetahui maksud cangkriman. Selain penguasaan koteks tuturan, untuk mengetahui maksud cangkriman juga dibutuhkan penguasaan konteks. Konteks tuturan cangkriman adalah situasi yang mendukung makna tuturan. Berdasarkan data cangkriman yang telah terkumpul dapat diketahui bahwa konteks tuturan cangkriman sangatlah luas, sesuai dengan topik/objek permasalahan yang dikandung oleh cangkriman tersebut.

Dapat dibayangkan, proses penciptaan cangkriman terjadi setelah penciptanya mengamati, meski tidak langsung, benda atau hal-hal yang akan dibuat cangkriman. Sesuai dengan itu maka orang yang diberi pertanyaan atau cangkriman itu juga harus mengetahui hal-hal dan benda-benda yang dijadikan objek cangkriman, beserta dengan keadaan dan sifat-sifatny. Adapun hal-hal yang banyak digunakan sebagai objek cangkriman antara lain adalah:

 

a) Benda

Abang-abang dudu kidang, pêrsêgi dudu pipisan, iku apa?

’Merah-merah bukan kijang, persegi bukan penumbuk jamu, apakah itu?’ Jawabannya: bata ’batu bata’.

Dipêdhanga, dibêdhila, dimêriyêma, ora bisa mati, nanging yèn dicêgati mati, iku apa?

’Meski dipedang, meski ditembak, bahkan dimeriam, tidak bisa mati, tetapi jika dihalangi mati, apakah itu?’ Jawabannya: banyu ’air’.

b) Benda angkasa

Yèn sêtêngah kêbak, yèn akèh kurang, iku apa?

’Jika setengah penuh, jika banyak kurang, apakah itu?’ Jawabannya: bulan ’bulan’.

Didêlêng gampang, dicêkêl angèl, iku apa?

’Dilihat mudah, dipegang sulit, apakah itu?’ Jawabannya: srêngéngé ’matahari’.

c) Binatang

Bocah cilik nggéndhong omah, iku apa?

Anak kecil menggendong rumah, apakah itu?’ Jawabannya: kéyong ’siput’.

Ana titah saka sabrang angajawa, gêdhéné ngédap-édapi, yèn lumaku irungé kagawa lambéyan, iku apa?

’Ada makhluk dari seberang datang ke Jawa, besarnya luar biasa, jika berjalan hidungnya bergerak juga, apakah itu?’ Jawabannya: gajah ’gajah’

d) Buah dan tanaman

Cangkriman tentang buah dan tanaman antara lain:

E, Gundhul! Aja lunga-lunga aku takgolèk pangan ing saparan-paran, iku apa?

’E, Gundul! Jangan pergi-pergi aku akan mencari makanan kemana-mana, apakah itu? Jawabannya: sêmangka ’buah semangka’.

Duwé rambut ora duwé êndhas, iku apa?

’Memiliki rambut tetapi tidak memiliki kepala, apakah itu?’ Jawabannya: jagung ’jagung’.

e) Manusia

Cangkriman tentang manusia antara lain:

Satriya ana têngahing paprangan, mungsuhé nugêli êndhas, iku apa?

’Kesatria di medan perang, tugasnya memenggal kepala, apakah itu?’ Jawabannya: wong ndêrêp ’orang membersihkan rumput di sawah’.

Ing ngisor kêdhung ing ndhuwur payung, iku apa?

’Di bawah palung di atas payung, apakah itu?’ Jawabannya: wong adang ’orang menanak nasi’.

IV. SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disampaikan simpulan sebagai berikut.

1.       Cangkriman bahasa Jawa berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi cangkriman yang berbentuk wancahan ‘akronim’, pêpindhan (irib-iriban) ‘kemiripan, pengendaian’, blèndèran ‘plesedan’, dan berbentuk tembang ‘tembang’;

2.       Fungsi cangkriman bahasa Jawa dapat dibedakan menjadi 2 yaitu berfungsi sebagai sarana permainan atau hiburan dan berfungsi sebagai sarana pendidikan (didaktis, asah otak);

3.       Untuk mengetahui maksud cangkriman bahasa Jawa harus mengetahui makna tekstual dan kontekstual tuturan cangkriman.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Syukur Ibrahim. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.

Anton M. Moeliono (Penyunting Penyelia). 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.

Antunsuhono. 1956. Paramasastra Djawa. Jilid 1 dan 2. Jogyakarta: Hein Hoo Sing.

Bambang Kaswanti Purwa. 1987. “Pragmatik dan Linguistik” dalam Bacaan Linguistik No. 36 April 1987. Yogyakarta: MLI Komisariat Universitas Gadjah Mada.

_______. 1990. Pragmatik dan pengajaran Bahasa, Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Crystal, David. 1989. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge University Press.

D. Edi Subroto dkk. 1991. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Harimurti Kridalaksana. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

I Dewa Putu Wijana. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Lambberton, D. van Hinloopen. 1912. Lajang Oenggah-Oenggoehing Basa, Krama en Ngoko. Batavia: Gedrukt Bij Filiaal Albrecht & Co.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. (terjemahan M.D.D. Oka). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Levinson, Stephen C. 1987. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Lyons, John. 1977. Semantics II. Cambridge: Cambridge University Press.

Maryono Dwiraharjo. 1981. “Cangkriman di dalam Bahasa Jawa” (Tesis). Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.

Mey, Jacob L. 1994. Pragmatics An Introduction. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell.

Moh. Syamsul Hidayat. 1991. Sapala Basa Jawa. Surabaya: Penerbit Indah.

Muhammad Rohmadi. 2004. Pragmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media.

Mukidi Adisumarto. 1975. Pengantar Tata Kalimat Bahasa Jawa. Jilid 1. Yogyakarta: FKSS Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Parker, Frank. 1986. Linguistics for Non-Linguistics. London: Taylor & Francis Ltd.

R.D.S. Hadiwidjana. 1967. Tata-Sastra. Yogya: UP Indonesia.

R.S. Subalidinata. 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.

Ranneft, W.Meijer. 1931. Tjangkriman Basa Djawa Nganggo Tembang. Batavia Centrum: Balai Poestaka.

S. Padmosoekotjo. 1960. Ngengrengan Kasusastran Djawa. II. Jogjakarta: Hein Hoo Sing.

_______.. 1987. Paramasastra Jawa. Surabaya: PT Citra Jaya Murti.

Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. (Diterjemahkan oleh J.S. Badudu). Yogyakarta: Kanisius.

Sudaryanto (penyunting). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

_______. 1982. Metode Linguistik: Kedudukannya, Aneka Jenisnya, dan Faktor Penentu Wujudnya. Cet. ke-1. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.

_______. 1986. Metode Linguistik Bagian Pertama: ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_______. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Syamsul Afifin dkk. 1987. Tipe Kalimat Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

_______, dkk. 1990b. Tipe-tipe Semantik Adjektiva dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Uhlenbeck, E.M. 1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. (Diterjemahkan oleh Soenarjati Djajanegara). Jakarta: Djambatan.

Verhaar, J.W.M. 1983. Pengantar Lingguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Verschueren, Jef, Jan-Ola Ostman, and Jan Blommaert. 1998. Handbook of Pragmatics Manual. Amsterdam/ Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.

W.J.S. Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers Maatschappij N.V.

_______. 1953. Sarining Paramasastra Djawa. Djakarta: Noorhoff-Kolf N.V.

 


[1] Staf pengajar Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret dan Sekretaris Program Studi Linguistik (S2) Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret